Inilah Alasan Mengapa Gaya Menulis Tegak Bersambung Semakin Ditinggalkan
Ilustrasi
Sejak kecil, saya dididiknya menulis tegak bersambung, baik di rumah maupun di SD. Nah, di SD, tiap awal pelajaran, kita ditugaskan untuk menulis satu kalimat dengan tulisan tegak bersambung dan nanti dinilai.
Kalau diingat-ingat, cuma saya yang niat membaguskan tulisan. Hasilnya, nilai saya yang paling besar untuk tulisan. Bahkan sampai sekarangpun, saya masih dicap sebagai murid dengan tulisan bagus—entah benar atau nggak.
Perubahan terjadi saat saya masuk SMP. Teman-teman menggunakan huruf balok semua, sementara saya sendiri yang masih menggunakan tegak bersambung dalam catatan dan latihan. Éféknya, saya jadi murid dengan tulisan bagus, tapi menulisnya lama. Paling lama, sampai-sampai kalau soal didikté—yang menurut saya harus dihapus, métodenya—gurunya sampai menunggu saya tiap soal selesai.
Akhirnya, saya berékspérimén. Pada kelas 8, saya mulai menulis cepat, tapi tetap memperhatikan éstétika. Jadinya, tulisan saya jadi gabungan antara tulisan balok dengan tegak bersambung.
Ini sampel tulisan saya waktu kelas 9. Saya aja sampai bingung. Kok, bisa, ya, serapi ini tulisannya:
Nah, sejak awal SMA, kita dituntut untuk lebih cepat berpikir—tulisan saya masih memakan waktu. Akhirnya, saya kesampingkan éstétika dan fokus ke kemudahan menulis. Banyak huruf yang saya simplifikasi dan banyak singkatan yang saya buat agar bisa mengejar waktu.
Hasilnya, tulisan saya lebih acak-acakan dari waktu saya SMP, tapi tetap bisa terbaca… oléh saya.
Tetap aja, kalau di catatan, saya baguskan tulisan, karena saya punya semua waktu yang saya butuh untuk membuat tulisan saya se-✨ aesthetic ✨ mungkin:
Tapi, kalau sedang berpikir cepat dan saya masa bodoh dengan kerapian, tulisan tangan saya jadi… begini:
Draf naskah pidato untuk acara Tujuh Belasan, wkwkwk
Jadi begitu. Karena lama.
sumber: quora